Cerpen: Pelajaran Mengarang

Standard

Seperti biasa, pada hari Rabu aku harus mempersiapkan pensil, penghapus, penggaris, buku gambar, dan pewarna ke dalam tas sekolahku. Hari Kamis adalah waktu untuk pelajaran menggambar. Seperti biasa pula, aku akan berjalan ke kelas dengan gontai.

Aku tidak suka pelajaran menggambar. Tidak dengan alat-alatnya, pelajarannya, juga dengan gurunya. Guru menggambarku bernama Pak Nung. Pak Nung berperawakan tinggi, agak gemuk, berkacamata, dan agak botak. Walaupun mempunyai senyum ramah yang dapat membuat seisi kelas berbahagia dengan pelajaran menggambarnya, aku tetap akan tersenyum sinis menghadapi buku gambarku. Aku benar-benar tidak memahami bagaimana hubungan antar titik yang bisa membuat garis yang indah, tidak pula hubungan antar warna yang bisa menghasilkan paduan yang memukau. Karena itu, nilai menggambar di raporku tak pernah lebih dari tujuh.

Hari ini Pak Nung memasuki kelas, masih dengan senyum ramahnya. Setelah menyapa dan melakukan absensi rutin, Pak Nung pun berkata, “Hari ini adalah waktunya menggambar bebas.”
“Hore…!” anak-anak bersorak-sorai.

“Gambarlah apapun di kertas kalian, sesuai yang kalian inginkan.” lanjut Pak Nung lagi.
Mereka segera memegang alat gambar masing-masing dan mulai mencoretkan garis-garis di kertasnya. Beberapa masih kebingungan menentukan ingin menggambar apa, namun kemudian wajah mereka sejenak berbinar, lalu hal yang sama pun terjadi. Mereka mulai mencoret-coret kertas mereka.
Ufh, hari ini akan menjadi hari terberat bagiku. Ini tugas yang menyiksa. Pak Nung memang biasa memberikan tugas yang sulit. Namun selama ini ia selalu memberikan tema, misalnya menggambar manusia, hewan, tumbuhan, alat permainan, alat transportasi, dan sebagainya. Hari ini ia berniat baik memberikan tugas menggambar bebas dan ini membuatku tersiksa.

Sudah tiga perempat jam kulalui. Sebagian teman sudah mulai mewarnai, bahkan sebagian telah mengumpulkan tugasnya. Aku masih diam dengan kertas kosong di mejaku. Kulihat Pak Nung, yang wajahnya pun tak ingin kulihat lagi, tersenyum bangga sambil menerima tugas teman-temanku satu per satu.

Satu per satu siswa akhirnya berhambur keluar kelas menyambut bel tanda istirahat. Pak Nung mengerutkan dahi padaku, lalu mendekatiku.

“Sudah selesai gambarnya? Buat gambar apa?” tanyanya dengan senyum ramahnya.
“Sudah.” Jawabku tanpa senyum sedikitpun.
“Coba Bapak lihat.” Kata Pak Nung lagi.
Kuserahkan kertas gambarku dengan enggan.
“Hm, gambar apa ini?” tanyanya masih dengan senyum yang sama ketika melihat ‘gambar’ yang sudah kubuat.

“Tau.” Kataku cuek. Aku…hanya membuat ‘gambar’ dengan spidol merahku membentuk garis menyerupai logo obat penambah zat besi yang sering kulihat di tivi.
“Hm… seperti… darah ya?” tanya Pak Nung lagi.
“Bukan. Air mata.” Jawabku singkat, enggan menjawab.
“Oh, air mata? Kenapa memilih air mata?” Pak Nung masih saja bertanya.
“Tugas ini membuatku ingin menangis.”

“Oh ya? Bukannya menggambar bebas itu menyenangkan? Semua anak menyukainya.”
“Ya, tapi aku tidak. Aku tidak suka menggambar.” Kataku berterus terang. Mungkin Pak Nung akan marah seperti umumnya guru yang kutemui di sekolah yang tidak bisa menerima penolakan. Ya, seperti kebanyakan guru yang merasa bahwa semua anak harus menguasai apapun yang mereka dan guru-guru lain ajarkan.

Di luar perkiraanku, Pak Nung tidak terlalu menanggapi kata-kataku, Aku tidak suka menggambar. Dia duduk di kursi yang terletak di depan mejaku, dan menghadap padaku lebih dekat, bertanya dengan antusias.

“Hm, begitu ya?? Boleh Bapak tahu apa yang kamu sukai, Anak Manis?” Aku mendadak berbinar-binar.
“Betul Bapak ingin tahu? Aku suka banyak hal. Aku suka menulis, bermain komputer, menyanyi, menari… tapi tidak dengan menggambar.” Lagi-lagi aku ingin memastikan bahwa Pak Nung benar-benar mendengar kata-kata Aku tidak suka menggambar dan memastikan reaksinya benar.

“Ah! Ohya? Bapak baru tahu itu…” katanya dengan wajah bahagia. “Bapak ini memang aneh.” Batinku.
“Kalau begitu kamu tidak perlu bersusah payah menggambar. Tahu tidak, Bapak suka membaca dan Bapak sangat ingin membaca tulisanmu. Hm, boleh Bapak minta sesuatu? Bapak juga ingin melihatmu menyanyi atau menari pada acara perpisahan besok.” Katanya membuatku lebih tak percaya.”Ohya? Tentu! Aku memang akan tampil pada pentas besok. Tapi tidak untuk menyanyi, hanya menari saja.”
“Ya! Itu juga tidak apa. Bapak akan lihat besok…” lanjutnya lagi. Dia lalu mengelus kepalaku sebentar dan berkata, “Sekarang bermainlah. Teman-temanmu sudah menunggu.” lanjutnya.

Segera saja kata-kata itu kusambut dengan gembira. Aku berlari berhambur menuju kawan-kawanku, lalu kulihat Pak Nung menuju ruang guru dengan tersenyum lega. Entah kenapa, sejak itu aku sangat menyukai pelajaran menggambar.

0319040610, my room.
*Special thanks to:
– sastrawan pemilik cerpen berjudul “Pelajaran Mengarang”, Seno Gumira Ajidharma (inspires me to get the title)
– my trainer (aku hanya bisa menghadiahkan karyaku yang tidak seberapa untuk kelas menggambar gratismu, arigatou…!),
– secara khusus untuk murid privatku yang sangat ekspresif. Dia suka IPA dan Matematika, dan sangat benci mengarang. Guru Bahasa Indonesia-nya selalu memberi tugas mengarang yang menyiksanya setiap hari dan aku harus menghadapi sekitar dua jam lebih untuk menunggunya menyelesaikan beberapa kalimat saja. Hari itu dia tidak menuliskan apapun dan memohon-mohon padaku untuk membuatkan tugasnya. Aku bilang, tulisin aja apa yang ada di pikiranmu sekarang. “Beneran?” tanyanya. “Yup!” kataku. Lalu dia menulis besar-besar di kertasnya, “MATI!!” hohoho…les hari itu diakhiri dengan isak tangis seorang anak lelaki dan bantingan pintu kamar yang mengesankan. I love you, Dear…

Leave a comment